Osamu Dazai: Ketika Diri Sendiri Tidak Pantas Disebut Manusia

Teknokra.id - Halo Sobat Teknokra! Ada yang tahu Osamu Dazai? Pasti sebagian dari kalian ada yang sudah tahu kan? Nah, mari kita bahas kembali kisahnya. Yuk simak dibawah ini!

Osamu Dazai yang terlahir dengan nama Tsushima Shūji, dikenal lewat karya-karyanya yang mampu menimbulkan rasa jijik sekaligus malu bagi pembacanya. Gaya tulisannya sering kali seperti catatan pribadi, seakan-akan membuka luka batin dan pengalaman hidupnya dalam bentuk novel pendek.

Selain sebagai penulis, Dazai juga banyak dijadikan tokoh fiksi maupun biopik dalam berbagai buku, film, hingga karya hiburan. Ia kerap digambarkan sebagai sosok dengan obsesi kematian yang sering berusaha mengakhiri hidupnya, bahkan bercita-cita mati bersama perempuan cantik. Kenyataannya, hidup Dazai memang berakhir tragis. Pada 13 Juni 1948, ia bunuh diri bersama kekasihnya, Tomie Yamazaki. Jenazah keduanya ditemukan enam hari kemudian, tepat pada hari ulang tahun Dazai, 19 Juni 1948.


Salah satu karya terkenal darinya adalah novel 人間失格 (Ningen Shikkaku), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai No Longer Human dan dalam bahasa Indonesia sebagai Gagal Menjadi Manusia. Tokoh utama dalam novel itu adalah Ōba Yōzō, alter ego dari Dazai sendiri. Yōzō memiliki seorang sahabat bernama Horiki, teman dalam kenakalannya yang justru menyeretnya makin jauh ke dunia alkohol, perempuan, dan malam. 


Sejak awal, Yōzō merasa ia tidak akan pernah bisa benar-benar “menjadi manusia.” Tekanan hidup membuatnya terus menyembunyikan diri di balik humor, menekan jati dirinya agar bisa diterima orang lain. Namun topeng itu runtuh karena rasa bersalah, alkohol, narkoba, dan kehancuran relasi. Dalam hidupnya, ia hanya jadi beban keluarga, kuliah tanpa semangat, dan bergantung pada uang kiriman dari rumah. Ia selalu merasa sendirian, seolah tidak pernah diakui sebagai bagian dari masyarakat. Tubuhnya pun lemah, ditambah rasa terasing yang menghantuinya.


Pertemuannya dengan Tsuneko, seorang pelayan bar dengan nasib serupa, membuat Yōzō merasa ada yang mengerti dirinya. Hubungan mereka berujung pada rencana bunuh diri ganda mereka meminum obat tidur lalu melompat ke laut. Tsuneko meninggal, sedangkan Yōzō selamat, meninggalkan rasa bersalah yang semakin menenggelamkannya. Setelah itu Yōzō enggan dekat dengan perempuan, sampai akhirnya ia bertemu Yoshiko, seorang gadis polos. 


Yoshiko tetap mencintainya meski tahu kebiasaan buruknya, dan dengan kepolosan itu ia membuat Yōzō berusaha berubah. Mereka menikah, namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Karena terlalu naif, Yoshiko dimanfaatkan seorang pemuda yang berpura-pura akrab. Ia dilecehkan, lalu dengan polos menceritakannya pada Yōzō. Peristiwa ini menghancurkan harapan Yōzō: baginya, jika Yoshiko yang paling murni sekalipun bisa dinodai, maka tidak ada lagi kebaikan di dunia.


Sejak saat itu, Yōzō tenggelam lebih dalam oleh morfin dan alkohol. Ia kehilangan kendali, bertingkah aneh, hingga akhirnya dianggap gila. Lingkungan pun mengasingkannya ke sanatorium jiwa, tempat di mana hidupnya berakhir sebagai “bukan manusia.”


Pesan yang bisa dipetik dari Gagal Menjadi Manusia adalah bahwa setiap orang menyimpan beban hidup masing-masing, dengan cara penyelesaian yang berbeda-beda. Sayangnya, lingkungan sosial sering kali tidak siap mendukung, justru memperparah keterasingan seseorang. Manusia cenderung sibuk memanusiakan dirinya sendiri, tanpa benar-benar peduli pada luka orang lain (Penulis: Putra Alam Apriliandi).